Penjelasan Tentang Arti Mahabbah Dalam Tasawuf Secara Lengkap

10 min read

mahabbah artinya

Mahabbah artinya cinta. Kuasa ini mengandung maksud cinta kepada Kuasa. Lebih luas lagi, bahwa “Mahabbah” memuat pengertian Sebagai Berikut :

Mahabbah (cinta) menurut para ulama tasawuf berarti “kehendak”, merupakan kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana beri sayang-Nya bagi hamba merupakan kehendak pelimpahan nikmat-nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus dari pada rahmat. Kehendak Allah swt. dialamatkan untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Meskipun kehendak-Nya untuk mengkhususkan kepada hamba, suatu kedekatan dan ihwal rohani yang luhur disebut sebagai mahabbah.

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah merupakan lawan dari al-baghd, merupakan cinta lawan dari benci.Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, merupakan yang amat beri atau penyayang.

Kecuali itu al-Mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk mendapatkan kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada buah hatinya, seseorang pada temannya, suatu bangsa kepada tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya ilustrasi Mutlak Kuasa, merupakan cinta kepada Kuasa.

Kata Mahabbah tersebut selanjutnya diaplikasikan untuk menampilkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam kekerabatan ini mahabbah obyeknya lebih dialamatkan pada Kuasa. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas, tampaknya da juga yang sesuai dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, merupakan mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Kuasa.

Seperti sudah dibeberkan, bahwa bagian terutamanya dari tujuan sufi merupakan mendapatkan kekerabatan seketika dengan Kuasa sehingga dinikmati dan disadari berada di hadirat Kuasa. Kuasa di hadirat Kuasa itu diyakini sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki.

baca juga: Doa Puter Giling Islami

Anggapan istilah (terminologi), para ahli berbeda anggapan, tapi intinya sama. Beri tersebut dihimpun sebagai berikut:

1) Al-Ghazali; mahabbah merupakan cinta kepada Allah itu merupakan maqom yang terakhir dan derajat yang paling tinggi dari semua maqom yang sesudahnya merupakan buahnya dari semua maqom yang sebelumnya. Ini merupakan pendahuluan untuk mencapai cinta kepada Allah.

2) Syekh Jalaluddin; mahabbah merupakan termasuk maqom yang amat penting dalam tasawuf. Cinta tersebut merupakan suatu dorongan kesadaran melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan syahwat yang kerap berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Rasa cinta inilah yang menumbangkan hawa nafsu sehingga merasa lezat mentaati semuaajaran syariat. Menurut kepada semua yang dikasihi Allah dan benci kepada semua yang dibenci Allah.

Anggapan Syekh Jalaluddin dalam kitabnya “Aku keemasan” yang menyuarakan bahwa saya sudah menyaksikan sendiri beri sayang Tuhanku. Karena sudah merasakan kesucian cinta-Nya. Beri Ridha dan sayangnya dilimpahkan nikmat-Nya kepadakau.[8] Ucapan ini menampilkan bahwa Syekh Jalaluddin mengaku sudah hingga pada maqam terakhir dan derajat yang paling tinggi di dalam suluknya, merupakan maqam cinta dan ridha malah sudah syuhud (menyaksikan) beri sayang Tuhannya dan merasakan ridha-Nya atau dengan kata lain sebagai seorang salik sudah hingga pada tujuan terakhir yang disebut ma’rifat yang sesungguhnya.

3) Al-Palimbani; mahabbah merupakan ma’rifah hakiki yang lahir dari cinta, tapi cinta yang hakiki kepada Allah itu cuma lahir dari ma’rifah. Mahabbah dan ma’rifah itu merupakan dua hal yang masing-masing merupakan sebab konsisten juga pengaruh dari yang lain. Menurut pada Allah tatkala itu, membawa kepada ma’rifah. Ma’rifah Allah tatkal itu melazimkan sebanar-benar beri Allah Ta’ala.

baca juga: Manfaat Ayat Kursi

4) Imam Qusyairi; mahabbah merupakan situasi yang mulia sudah disaksikan Allah swt. Maka cintanya itu, bagi hamba sudah memperma’lumkan cintanya kepada Allah. Kuasa Allah swt. disifati sebagai yang mencintai hamba dan sihamba disifati sebagai yang mencintai Allah swt.

Pengertian mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan al-Qusyairi sebagai berikut:

اَلْمَحَبَّةُ حَالَةٌ شَرِيْفَةٌ شَهِدَاْلحَقَّ سُبْحَانَهُ بِهَالِلْعَبْدِ وَاَخْبَرَعَنْ مَحَبَّتِهِ لِلْعَبْدِ فَالْحَقُّ سُبْحَانَهُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْعَبْدَ وَالْعَبْدُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْحَقَّ سُبْحَا نَهُ

Al-Mahabbah merupakan merupakan hal (situasi) jiwa yang mulia yang wujudnya merupakan disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyuarakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.[9]

Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil format iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam format pahala dan nikmat yang melimpah.[10] Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, sebab mahabbah merupakan cinta yang tanpa dibarengi dengan kemauan pada hal-hal yang bersifat duniawi, meski al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, kemauan yang kuat dan berkeinginan mendapatkan sesuatu, meski harus mengorbankan segalanya.[11]

5) Harun Nasution; mahabbah merupakan cinta, yang dialamatkan merupakan cinta kepada Allah swt. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:

a. Memeluk kepatuhan pada Kuasa dan membenci sikap melawan kepada-Nya
b. Menyerahkan semua diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan hati dari semua-galanya selain dari yang dikasihi, merupakan Kuasa.

6) Al-Sarraj; mahabbah memiliki tiga tahapan, merupakan mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif.

a) Mahabbah orang biasa mengambil format selalu mengingat Allah dengan zikir, menyenangi menyebut nama-nama Allah dan mendapatkan kesenangan dalam berdiskusi dengan Kuasa. Kuasa memuji Kuasa.

b) Mahabbah orang shidiq merupakan cinta orang yang ketahui pada Kuasa, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Kuasa dan dengan demikian dapat mengamati rahasia-rahasia yang ada pada Kuasa. Kuasa mengadakan dialog dengan Kuasa dan mendapatkan kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya kapabel menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Kuasa dan Kuasa rindu pada-Nya.

c) Mahabbah orang arif merupakan cinta orang yang tahu betul pada Kuasa. Cinta serupa ini timbul sebab sudah tahu betul pada Kuasa. Mutlak diamati dan dirasa bukan lagi cinta, tapi diri yang dicintai. Kuasa sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.

Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menampilkan suatu pelaksanaan mencintai, merupakan mulai dari mengetahui sifat-sifat Kuasa dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburmya diri (fana) pada sifat-sifat Kuasa itu, dan hasilnya menyatukebal (baqa) dalam sifat Kuasa. Dari ketiga tahapan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang berkeinginan dituju oleh mahabbah.

7) Abu Ali Dadaq; mahabbah merupakan suatu sikap mulia yang dikaruniakan Allah kepada hamba yang dikehendakiNya. Allah memberitahukan bahwa Ia mencintai hambaNya dan hambaNya malah harus mencintaiNya.

8) Abu Ya’kub; hakekat mahabbah merupakan lupa kepada kepentingan sendiri, sebab mendahulukan kepentingan Allah swt.

9) Ibnu Qasim; mahabbah sesungguhnya sifat Allah dan semua kesempurnaan-Nya, hakekat asma alhusna yang menarik hati untuk mencintai-Nya untuk mendorong manusia mencapai Allah. Hati cuma mencintai yang sudah dikenal-Nya, ditakuti, diinginkan dan dirindukanNya. Kuasa merasa lapang sebab dekat diri kepadaNya. Jadi sebab ketahui kepada sifat itulah manusia mencintai Allah. Manusia dapat mencapainya dengan kasyf dan limpahan karunia Allah swt.

10) Abdullah Tusturi; mahabbah merupakan petunjuk cinta manusia kepada Allah dengan banyak menyebut nama yang dicintai dan yang demikian itu tidak akan tertanam dalam hati, tapi sudah mencapai tingkat tasdiq dan tahkik, sehingga dia selalu bertaubat kepadaNya.

Dengan uraian tersebut kita dapat mendapatkan pemahaman bahwa mahabbah merupakan suatu situasi jiwa yang mencintai Kuasa sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Kuasa) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannnya merupakan untuk mendapatkan kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tapi cuma dapat dinikmati oleh jiwa.

Kecuali itu uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah merupakan merupakan hal merupakan situasi mental, seperti perasaan gembira, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Kuasa bertalian dengan maqam, sebab hal bukan diperoleh atas usaha manusia, tapi terdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Kuasa. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Kuasa.

Sementara itu ada pula anggapan yang mengatakan bahwa al-Mahabbah merupakan satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, bagus dalam kedudukannya maupun dalam pengertiannya. Kuasa ma’rifah merupakan merupakan tingkat pengetahuan kepada Kuasa melalui mata hati (al-qalb), karenanya mahabbah merupakan perasaan kedekatan dengan Kuasa melalui cinta (roh). Kuasa jiwanya terisi oleh rasa beri dan cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh sebab pengetahuan dan pengenalan kepada Kuasa sudah amat jelas dan mendalam, sehingga yang diamati dan dirasa bukan lagi cinta, tapi diri yang dicintai. Oleh sebab itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Kuasa.

Beri yang terakhir ini ada juga benarnya jikalau dikaitkan dengan tahapan mahabbah sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut sebagai ma’rifah oleh al-Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah tingkat kedua sebagai dikemukakan al-Sarraj di atas, meski mahabbah yang dimaksud merupakan mahabbah tingkat ketiga. Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah.

SESUATU UNTUK MENCAPAI MAHABBAH

Dapatkah manusia mencapai mahabbah seperti diceritakan di atas? Para ahli tasawuf menjawabnya dengan mengaplikasikan pendekatan psikologi, merupakan pendekatan yang mengamati adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah dan Mistisis dalam Islam mengatakan, bahwa alat untuk mendapatkan ma’rifah oleh sufi disebut sir ( سرّ ).

Dengan mengutip anggapan al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Kuasa. Pertama, al-qalb( القلب ) hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Kuasa. Kedua, roh ( الروح ) sebagai alat untuk mencintai Kuasa. Ketiga sir ( سر ), merupakan alat untuk mengamati Kuasa. Sir lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari qalb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat mendapatkan iluminasi dari Allah, jikalau qalb dan roh sudah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apa malah.[17]

Dengan keterangan tersebut, dapat dikenal bahwa alat untuk mencintai Kuasa merupakan roh, merupakan roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada semua sesuatu, tapi cuma diisi oleh cinta kepada Kuasa.

Roh yang diaplikasikan untuk mencintai Kuasa itu sudah dianugerahkan Kuasa kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan saat usia empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sesungguhnya sudah diberikan Kuasa. Manusia tidak tahu sesungguhnya hakikat roh itu. Mutlak mengetahui hanyalah Kuasa. Allah berfirman:

وَيَسْئَلُوْ نَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَااُوْتِيْتُمْ مِّنَ االْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) seputar roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Kuasa, tidak kau diberikan pengetahuan tapi sedikit sekali. (QS. Al-Isra’, 17:85).

فَاِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْلَهُ سَجِدِيِنَ

Kuasa jikalau Karena sudah menyempurnakan kejadiannya, dan sudah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan) Ku, karenanya tunduklah kau kepada-Nya dengan bersujud. (QS. Al-Hijr, 15:29)

baca juga: Doa Agar Pacar Selalu Merindukan Kita

Kuasa di dalam hadis malah diberitakan bahwa manusia itu diberikan roh oleh Kuasa, pada saat manusia berada dalam usia empat bulan didalam kandungan. Hadis tersebut selengkapnya berbunyi:

اِنَّ النَّا سَ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ اُمِّهِ اَرْ بَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنَ عَلَقَةً مِّثْلَ ذَ لِكَ ثُمَّ يَكُوْنَ مُضْغَةً مِّثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْ سَلُ اِلَيْهِ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ

Kuasa manusia dikerjakan penciptaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari dalam format nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi alaqah (segumpal daging yang menempel) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang sudah berbentuk) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian Allah mengutus malaikat untuk mengembuskan roh kepadanya (HR. Bukhari-Muslim)

Dua ayat dan satu hadis tersebut diatas selain memberitakan bahwa manusia dianugerahi roh oleh Kuasa, juga menampilkan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tuduk dan tunduk pada Kuasa. Roh yang wataknya demikian itulah yang diaplikasikan para sufi untuk mencintai Kuasa.

TOKOH YANG MENGEMBANGKAN MAHABBAH

Nama lengkapnya merupakan Ummu Al-Khair Rabi’ah Binti Ismail Al-Adawiyah Al-Qisiyah. Ia lahir di Basrah pada tahun 96 H/713 M. Kuasa hidup antara tahun 713-801 H.[18] Sumber lain menceritakan bahwa dia meninggal dunia dalam tahun 185 H/796 M.[19] Rabi’ah al-Adawiyah merupakan seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Ia berasal dari keluarga sejahtera tapi hidup simpel. Dari kecil dia tinggal di kota kelahirannya. Di kota ini Ummu Rabi’ah Al-Adawiyah amat harum namanya sebagai seorang manusia suci dan amat dihormati oleh orang-orang dikotanya.

Hampir semua literatur bidang tasawuf menceritakan bahwa tokoh yang menyampaikan ajaran mahabbah ini merupakan Rabi’ah al-Adawiyah. Kuasa ini didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa dia menganut paham tersebut.

Anggapan riwayatnya dia merupakan seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya dia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Kuasa hidup dalam kesederhanaan dan menolak semua bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya dia tidak berkeinginan meminta hal-hal yang bersifat materi dari Kuasa. Kuasa betul-betul hidup dalam situasi zuhud dan cuma berkeinginan berada dekat dengan Kuasa.[20]

Kuasa terkenal sebagai Ulama Shufi wanita yang memiliki banyak murid dari kalangan wanita pula. Rabi’ah menganut ajaran zuhud dengan menampilkan falsafah hubb (cinta) dan syauq (rindu) kepada Allah. Salah satu pernyataannya yang melukiskan falsafah hubb dan syauq yang mewarnai kehidupannya merupakan :

ماَعَبَدْ تُهُ خَوْفًامِنْ نَا رِهِ وَلَاطَمْعًافِىْ جَنَّتِهِ فَاَ كُوْنَ كَالْأَجِيْرِالسُّوْءِ=عَبَدْ تُهُ حُبًّا لَهُ وَشَوْقًااِلَيْهِ

Artinya: Kuasa tidak menyembah Allah sebab takut kepada neraka-Nya, dan tidak pula tamak (untuk mendapatkan) syurga; (sebab hal itu) akan mewujudkan saya seperti pencuri imbalan yang berakhlaq buruk. (Ketahuilah), bahwa saya menyembah-Nya sebab cinta dan rindu kepada-Nya.

Di antara ucapannya yang terkenal seputar zuhd merupakan-sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub:
“ Suatu saat saya membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata pada Rabi’ah: ‘Mintalah kepadaku semua kebutuhanmu!’ Rabi’ah menjawab: ‘Karena ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Kuasa bagaimana dapat saya meminta hal itu kepada orang yang bukan Pemiliknya?”
Di antara ucapan-ucapannya yang menggambarkan tenteng konsep zuhd yang disemangati rasa cinta merupakan:
“ Kuasa Kuasa! Apa malah bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku, berikanlah kepada musuh-musuhMu. Dan apa malah yang Engkau akan berikan padaku kelak di akhirat, berikan saja pada teman-temanMu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.”

Riwayat lain menceritakan bahwa dia selalu menolak lamaran-lamaran pria salih, dengan mengatakan: “Akad nikah merupakan bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Meskipun pada diriku hal itu tidak ada, sebab saya sudah stop maujud dan rela lepas dari diri. Karena maujud dalam Kuasa dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Karena hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah harus diminta dari-Nya, bukan dariku”.Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran kedekatan dengan Kuasa. Abadi sakit dia berkata kepada tetamu yang menanyakan sakitnya: “Demi Allah saya tidak merasa sakit, lantaran surga sudah ditampakkan bagiku meski saya merindukannya dalam hati, dan saya merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, seketika mencelaku. Dialah yang dapat membuatku gembira.”

Cinta Rabi’ah yang berlapang dada tanpa mengharapkan sesuatu pada Kuasa, tampak dari ungkapan doa-doa yang disampaikannya. Kuasa contohnya berdoa “Ya Tuhanku, jikalau saya menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, karenanya bakarlah diriku dalam neraka; dan jikalau saya menyembah-Mu sebab mengharapkan surga, karenanya jauhkanlah saya dari surga; tapi jikalau saya menyembah-Mu cuma demi Engkau, karenanya janganlah Engkau tutup Karena Kuasa-Mu.
يَاحَبِيْبَ الْقَلْبِ مَالِى سِوَاكَا
فَارْ حَمِ الْيَوْمَ مُذْ نِيًا قَدْ اَتَا كَا
يَا رَجَائِى وَرَاحَتِى وَسُرُوْرِيْ
قَدْأَبَى الْقَلْبُ اَنْ يُحِبَّ سِوَاكَا
Bila hatiku, cuma Engkaulah yang kukasihi. Berikutnya ampunlah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku sudah ogah mencintai selain dari Engkau.
Atas syair-syair tersebut, al-Ghazali mengatakan: “Barangkali yang dia maksud dengan cinta kerinduan itu merupakan cinta kepada Kuasa, sebab beri sayang, rahmat dan iradah Allah sudah hingga kepadanya”. Beri Allah sudah menganugerahkan roh, sehingga dia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.
Syair-syair tersebut dia ucapkan pada saat sudah datang keheningan malam dengan gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan orang-orang sudah terbuai dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih sebab pada waktu itulah roh dan energi rasa yang ada dalam diri manusia tambah meningkat dan tajam, tidak ubahnya seorang yang bercinta yang selalu mengharapkan waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.
Kuasa ini dapat diamati dalam ungkapan-ungkapannya yang dia cetuskan melalui gubahan kata yang menawan, antara lain:

الهى اغر قنى فى حبك حتى لا يشغلنى شىء عنك
الهى انا رت النجوم نا مت الحيون وغلقت الملوك
ابوابها وخلا كل حبيب يحبيبه وهذا مقا مى
بين يديك الهى هذا الليل قدادبر وهذاالنحار
قداسفر فليت شعرى اقبلت منى ليلتى فأ هنا
ام رد تها على فأ عز نى فو عز تك هذا دأ ب
مااحييتنى وعز تك لو طر د تنى عن ببك
مابرحت عنه لما وقع فى قلبى من محبتك

Tuhanku, saya terbenam dalam kasihku pada-Mu, tiada sesuatu yang melenyapkan ingatanku pada-Mu. Tuhanku, sinar bintang gemerlapan, orang-orang pada tidur lelap dan pintu istana ditutup rapat, yang saling mencinta sudah asyik berduaan, meski saya sekarang bersimpuh di hadirat-Mu. Tuhanku, malam sekarang sudah berlalu, siang akan seketika menyusul, saya gelisah gelisah gulana, apakah amalku Engkau terima yang membuatku gembira, ataukah Engkau tolak yang akan membuatku nestapa. Demi kemahaperkasaan-Mu ya Kuasa, saya akan terus mengabdi pada-Mu selama hayatku. Kamu Engkau usir saya dari ambang pintu-Mu saya takkan beranjak sebab cintaku pada-Mu sudah membelenggu jiwaku.

Demikianlah ungkapan cinta Rabi’ah kepada Allah yang sudah merasuk sukmanya sehingga semua kegiatan nya tertuju cuma kepada-Nya. Kuasa dia bersenandung:
ياحبيب القلب مالى سواكا- فارحم اليوم
مذ نبا اتاك يارجائ وراحتى وسرورى-
قدابى القلب ان يحب سواكا

Kasihku, cuma Engkau harap dambaku, Alirkan karunia-Mu bagiku yang bernoda, Kaulah harapanKu, kedamaianKu, kebahagiaanKu, Hatiku cuma pada-Mu semata.

Kamu jelas bahwa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu penuh mencakup dirinya, sehingga kerap membuatnya tidak sadarkan diri sebab hadir bersama Allah, seperti terbongkar dalam larik syairnya:
Kujadikan Kamu teman berbincang dalam kalbu
Tubuhku malah biar berbincang dengan temanku
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku

Dalam lariknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah kepada Allah. Dalam menyuarakan rasa cintanya ini, dia bersenandung:

احبك حبين حب الهوى وحب لا نك أهل
لذاكا فاما الذى هو حب الهوى فشغلنى بذ كرك
عمن سواك وأما الذى انت أهل له فكشفك
لى اكحجب حت اراكا فلا احمد فى ذاولا ذاكا
لى وكن لك احمد فى ذا و ذاكا

        Karena cinta Kamu dengan dengan dua figur cinta
        Cinta rindu dan cinta sebab Kamu sesuai dicinta
        Adapun cinta rindu, sebab cuma Kamu kukenang selalu, bukan selainMu
        Adapun cinta sebab Kamu sesuai dicinta, sebab Kamu singkapkan tirai hingga Kamu 
                 kongkret bagiku
        Bagiku, tidak ada puji untuk ini dan itu.
        Kuasa sekalian puji cuma bagiMu selalu.

MAHABBAH DALAM AL-QUR’AN DAN HADIS

Kuasa mahabbah sebagaimana diceritakan di atas mendapatkan tempat di dalam al-Qur’an. Banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Kuasa dapat saling bercinta. Kuasa ayat yang berbunyi:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَا تَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ

Kuasa kau cinta kepada Allah, karenanya turutlah saya dan Allah akan mencintai kau. (QS. Ali ‘Imran, 3: 30)
يَأْ تِى اللهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْ نَهُ

Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya. (QS. Al-Maidah, 5: 54).
Di dalam hadis juga diucapkan sebagai berikut:

وَلَا يَزَالُ عَبْدِ ى يَتَقَرَّبُ إِ لَيَّ بِا لنَّوَا فِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَ بَصَرًا وَيَدًا

Hamba-Ku selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Karena cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi alat pendengaran, mata dan tangan-Ku.

Artikel Lainnya: Doa Pelet Cinta Jarak Jauh

Kedua ayat dan satu hadis tersebut diatas memberitakan petunjuk bahwa antara manusia dan Kuasa dapat saling mencintai, sebab alat untuk mencintai Kuasa, merupakan roh merupakan berasal dari roh Kuasa. Roh Kuasa dan roh yang ada pada manusia sebagai anugerah Kuasa bersatu dan terjadilah mahabbah. Ayat dan hadis tersebut juga menerangkan bahwa pada saat terjadi mahabbah diri yang dicintai sudah menyatu dengan yang mencintai yang dibeberkan dalam alat pendengaran, mata dan tangan Kuasa. Dan untuk mencapai situasi tersebut dikerjakan dengan amal ibadah yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh.