Ekstradisi Adalah : Pengertian, Prinsip, Jenis, Sejarah, Perjanjian

24 min read

Pengertian Ekstradisi Adalah - Unsur Jenis Sejarah Dan Asas Prinsip Perjanjian Ekstradisi Menurut Para ahli

Pengertian Ekstradisi Adalah – Unsur Jenis Sejarah Dan Asas Prinsip Perjanjian Ekstradisi Menurut Para ahli – Kata Ekstradisi berasal dari bahasa latin \\”extradere” (kata kerja) yang terdiri dari kata “ex” artinya keluar dan “Tradere” artinya memberikan (menyerahkan, kata bendanya “Extradio” yang artinya penyerahan. Istilah ekstradisi ini lebih diketahui atau biasanya diterapkan terpenting dalam penyerahan pelaku kezaliman dari suatu negara terhadap negara peminta,

Jadi berikut penjelasan mengenai Pengertian Ekstradisi Adalah Unsur Jenis Sejarah Dan Asas Prinsip Perjanjian Ekstradisi Menurut Para ahli.

Sebagai pemahaman permulaan pembahasan seputar ekstradisi, penulis akan menyajikan beberapa pendapat dari para spesialis aturan seputar pengertian dari Ekstradisi. Menurut Prof. Romli Atmasasmita, sebagaimana dikutip dari Bassiouni[1], Istilah ekstradisi berasal dari bahasa latin , “extradere” atau menyerahkan. Berikutnya etimologis, kalimatekstradisi berasal dari dua suku kata, merupakan “extra” dan “tradition”; Ekstradisi artinya suatu konsep aturan yang berlawanan dengan “kebiasaan” yang telah berabad-abad dipraktikkan antar bangsa-bangsa.

Praktik “kebiasaan” hal yang demikian merupakan kewajiban setiap negara untuk menjadi “asylum” (pelindung) bagi siapa saja yang memohon perlindungan, dan kebiasaan untuk memelihara kehormatan (hospitality)sebagai negara (tuan rumah) atas mereka yang memohon perlindungan hal yang demikian.

Praktik asylum yang mendahului ekstradisi menampilkan bahwa ekstradisi merupakan kekecualian dari asylum. Jika beliau mengatakan bahwa arti atau makna lain dari ekstradisi merupakan terdapat relasi atau keterkaitan kepentingan antara dua negara merupakan negara yang meminta ekstradisi atau requesting state party dan negara yang dimintakan ekstradisi atau requested state party.[2]

menurut Ilias Bantekas, di dalam bukunya International Criminal Law, seputar ekstradisi dia mengatakan bahwa :

extradition is the formal process whereby a fugitive offender is surrendered to the state in which an offence was allegedly committed in order to stand trial or serve a sentence of imprisonment. there is no general rule of international law that requires a state to surrender fugitive offenders and extradition arrangements proceed on the basis of a formal treaty or a reciprocal agreement between states… The law of extradition, which is branch of international criminal law, is based on the assumption that the requesting state is acting in good faith and that the fugitive will recieve a fair trial in the courts of the requesting state. With regard to the principle aut dedere aut judicare, state embracing the civil law tradition generaly apply extra-jurisdiction and prosecute persons for crimes committed in other jurisdictions in which their own nationals are either the offender or the victim.[3]

Ekstradisi

Tidak diterjemahkan, maka maksud dari pendapat Illias Bantekas hal yang demikian bahwa ekstradisi merupakan pengerjaan formal dimana pelaku kezaliman diserahkan terhadap negara di mana pelanggaran diduga dilaksanakan dalam rangka untuk diadili atau menjalani hukuman penjara. Aturan ada aturan biasa aturan internasional yang mengharuskan negara untuk menyerahkan para pelaku kezaliman dan juga tak mengharuskan penyelenggaraan ekstradisi yang dilaksanakan atas dasar perjanjian formal ataupun kesepakatan (tanpa ada perjanjian) atas dasar prinsip resiprositas.

Mengacu seputar ekstradisi, yang merupakan cabang dari aturan pidana internasional yang didasarkan pada asumsi bahwa negara pemohon bertindak dengan itikad baik bahwa buronan (obyek extradisi, pen) akan menerima persidangan yang adil di pengadilan negara pemohon. Dengan merujuk pada prinsip aut dedere aut judicare, negara mengadopsi kebiasaan civil law yang pada biasanya mengaplikasikan perluasan yurisdiksi dan menuntut setiap orang untuk kezaliman yang dilaksanakan di dalam yurisdiksi lain di mana mereka menjadi warga negara baik sebagai pelaku atau korban.

Selain pada pengertian yang diberikan oleh bantekas hal yang demikian, penulis bisa mengambil maksud bahwa ekstradisi menurut bantekas didasarkan pada prinsip yurisdiksi teritorial dimana kezaliman dilaksanakan di dalam wilayah yurisdiksi negara peminta.

Pengertian Ekstradisi Adalah – Unsur Jenis Sejarah Dan Asas Prinsip Perjanjian Ekstradisi Menurut Para ahli

Pengertian Ekstradisi Adalah - Unsur Jenis Sejarah Dan Asas Prinsip Perjanjian Ekstradisi Menurut Para ahli

Pengertian ekstradisi yang diberikan oleh bantekas hal yang demikian juga relatif luas dimana pengerjaan ekstradisi tak terbatas hanya didasarkan pada perjanjian yang bersifat formal, tapi juga bisa dilaksanakan tanpa didasari perjanjian formal, merupakan dengan kesepakatan yang didasari prinsip resiprositas. Mengacu itu, dalam hal telah terdapat perjanjian ekstradisi, setiap negara pihak tak diberikan kewajiban untuk menyerahkan pelaku kezaliman yang ada di dalam wilayah kekuasaannya.

Sedikit berbeda dengan apa yang diberi tahu oleh bantekas hal yang demikian, Robert Cryer, dkk berpendapat sebagai berikut:

Extradition is surrender of a person by one state to another, the person being either accused of a (extraditable) crime in the requesting state or unlawfully at large after conviction. this is a considerable intrusion in the liberty of the person concerned, but one which is justified by the common interest of states in combating crimes and expunging save havens for fugitives.[4]

Ekstradisi merupakan penyerahan seseorang oleh satu negara ke negara lain, seseorang yang menjadi salah dituduh menjalankan kezaliman (yang bisa diekstradisi) di negara peminta. ini merupakan intrusi (interfensi) yang cukup besar terhadap kebebasan dari orang yang bersangkutan, tapi merupakan satu hal yang dibenarkan atas dasar kepentingan biasa setiap negara dalam memerangi kezaliman dan meniadakan perlindungan terhadap buronan.

Selain pada pengertian sebagaimana diberi tahu oleh R. Cryer hal yang demikian tampak bahwa ekstradisi mempunyai batasan yang relatif luas dimana Cryer tak membatasi bahwa pengerjaan ekstradisi tak sepatutnya dilaksanakan atas dasar perjanjian formal tapi juga bisa dilaksanakan atas dasar prinsip resiprositas. Cryer hanya membatasi bahwa ekstradisi hanyalah merupakan penyerahan pelaku yang diduga menjalankan kezaliman di wilayah teritorial negara peminta. Berangkat dari pengendalian hal yang demikian tampak penggunaan prinsip yurisdiksi territorial dalam hal pengerjaan ekstradisi.

Jika penulis akan menyajikan pendapat dari Cherif Bassiouni seputar ekstradisi sebagaimana hal yang demikian di bawah ini:

Extradition can be defined as \\”the resmi process based on treaty, reciprocity, commity, or national law, whereby one state delivers to another, a person charged or convicted of criminal offense against the laws of the requesting state or in violation of international criminal law in order to be tried or punished in the requesting state with respect to the crime stated in the request.[5]

Ekstradisi bisa didefinisikan sebagai pengerjaan aturan menurut perjanjian, relasi timbal balik, rasa hormat, atau aturan nasional, dimana satu negara memberikan atau mengirimkan ke negara lain, seseorang yang didakwa atau dihukum sebab tindak kezaliman terhadap aturan negara yang meminta atau yang melanggar aturan pidana internasional agar diadili atau dihukum di negara peminta sehubungan dengan kezaliman yang dinyatakan dalam permintaan.

Pengertian yang diberikan oleh Bassiouni hal yang demikian hampir sama luas dengan pendapat Cryer. Jika saja Bassiouni lebih memberikan batasan yang tegas seputar dasar dijalankannya ekstradisi, sedangkan Cryer tak memberikan batasan sama sekali. Menurut dibandingi dibandingi dengan pendapat-pendapat sebelumnya, pendapat Bassiouni ini relatif lebih luas dimana Bassiouni mendasarkan pengerjaan ekstradisi bukan hanya pada adanya perjanjian dan juga prinsip resiprositas. Menurutnya, ektradisi juga bisa dilaksanakan atas dasar rasa hormat (comity) dan juga aturan nasional. Pengertian menurut Bassiouni ini juga mendasarkan pada prinsip yurisdiksi territorial.

Lebih terang Bassiouni memberikan ilustrasi seputar sifat (nature) dari ekstradisi dengan mengatakan sebagai berikut:

Menurut pandangan Bassiouni sifat dari ekstradisi merupakan pengerjaan aturan yang dilaksanakan oleh dan antara dua atau lebih negara menurut aturan internasional, dan aturan nasional dari setiap negara yang terlibat.

Menurut hal yang demikian hanya merupakan komponen dari pengerjaan politik antar pemerintah. Implikasi dari konsepsi itu merupakan bahwa individu hanya merupakan obyek dan bukan subyek dari pengerjaan aturan. sebagai konsekuensi dari konsepsi ini, individu yang menjadi subyek dari pengerjaan hal yang demikian akan tak mempunyai hak untuk mengklaim terhadap negara masing-masing (negara peminta dan negara yang dipinta) selain masing-masing negara yang bersangkutan akan mengakui.

pandangan modern, bagaimanapun juga, bahwa individu merupakan subyek aturan yang memiliki hak untuk mengklaim dan menegaskan hak-hak yang dilegalkan untuk keuntungan mereka dari aturan internasional, perjanjian yang berlaku, termasuk perjanjian ekstradisi, dan aturan nasional termasuk hak konstitusional.

Mengacu dari pendapat beberapa spesialis aturan, penulis akan menyajikan beberapa pengertian ekstradisi sebagaimana dipegang di dalam beberapa pengendalian international dan juga penguasaannya di dalam aturan Indonesia. Menurut UN Model Law on extradition terpenting di dalam Section 1, menyebutkan bahwa :

“Extradition” means the surrender of any person who is sought by the requesting State for criminal prosecution for an extraditable offence or for the imposition or enforcement of a sentence in respect of such an offence.[7]

Menurut UN Model Law on Extradition, \\”Ekstradisi\\” berarti penyerahan orang yang dicari oleh Negara pemohon untuk dilaksanakan penuntutan pidana atas suatu pelanggaran yang memenuhi prasyarat ekstradisi atau untuk penggunaan atau pengerjaan hukuman yang berhubungan dengan suatu pelanggaran.

Pengertian yang diberikan oleh UN Model Law on Extradition ini tampak memberikan batasan yang sangat luas dimana tak mensyaratkan adanya perjanjian internasional atau tak. Mengacu itu juga tak menegaskan penggunaan salah satu prinsip yurisdiksi. Pengertian ini tak mengutamakan salah satu prinsip yurisdiksi sebagaimana pendapat yang diberikan oleh beberapa spesialis aturan di atas yang lebih mengutamakan prinsip yurisdiksi territorial.

Pengertian yang serupa juga diberikan oleh Europe Convention on Extradition sedangkan konvensi ini tak memberikan pengertian secara eksplisit. Selain pada artikel 1 konvensi ini yang menyebutkan sebagai berikut:

The Contracting Parties undertake to surrender to each other, subject to the provisions and conditions laid down in this Convention, all persons against whom the competent authorities of the requesting Party are proceeding for an offence or who are wanted by the said authorities for the carrying out of a sentence or detention order.[8]

Walaupun pada pasal 1 konvensi hal yang demikian tergambar bahwa para pihak setuju untuk saling menyerahkan, patuh pada ketetapan dan keadaan yang ditentukan dalam Konvensi ini, segala orang terhadap siapa pejabat yang berwajib dari Pihak yang mengajukan permohonan untuk menjalankan penanganan suatu kezaliman atau orang yang sedang dicari oleh pihak berwajib untuk menjalankan instruksi pemidanaan atau penahanan.

Berbeda dengan pengertian hal yang demikian, Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 Walaupun Extradisi di dalam pasal 1 memberikan pengertian sebagai berikut:

Berikutnya Undang-undang ini yang dimaksud dengan Ekstradisi merupakan penyerahan oleh suatu negara terhadap negara yang meminta penyerahan seseorang yang dikira atau dipidana sebab menjalankan suatu kezaliman di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan hal yang demikian, sebab berwajib untuk mengadili dan memidananya.

Pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang ini sangat jauh berbeda dengan pengertian sebagaimana disebutkan di atas baik dari beberapa spesialis aturan ataupun dari pengertian yang diberikan oleh beberapa pengendalian aturan internasional. Pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang ini sangatlah sempit dimana ekstradisi hanya dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana untuk didakwa, dituntut atau dipidana menurut aturan pidana Indonesia sebab menjalankan tindak pidana di dalam wilayah territorial Negara Indonesia.

Mengacu beberapa pengertian sebagaimana penulis sebutkan di atas memberikan beberapa batasan seputar ekstradisi, akan tapi dalam praktiknya dalam pergaulan internasional cara kerjanya dikembalikan lagi terhadap kehendak dari masing-masing negara pihak untuk menjalankannya. Sebagaimana prinsip kebebasan berkontrak dalam menjalankan kesepakatan antar pihak tergantung kepentingan dan kehendak dari masing-masing pihak yang menjalankan kesepakatan.

Seperti halnya pengerjaan ekstradisi yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia dengan beberapa negara. Mengacu Undang-Undang seputar Ekstradisi memberikan batasan yang sedemikian sempit, tapi dalam cara kerjanya Pemerintah Indonesia menjalankan ekstradisi dalam hal yang lebih luas dari pengertian hal yang demikian seperti ekstradisi kasus Oki yang menjalankan tindak pidana di Amerika Serikat tapi Pemerintah Indonesia mengajukan permintaan ekstradisi terhadap Oki untuk diadili di Indonesia menurut aturan Indonesia.

B. Sejarah Ekstradisi

Selain pada sifat dari ekstradisi sebagaimana diberi tahu oleh Bassiouni di atas bahwa ekstradisi merupakan komponen dari pengerjaan politik antar pemerintah yang berimplikasi bahwa individu hanya merupakan obyek dan bukan subyek dari pengerjaan aturan. hal serupa juga diberi tahu oleh Prof. Romli Atmasasmita bahwa menurut sejarah ekstradisi maka ekstradisi sesungguhnya mencerminkan relasi yang bersifat politis antar negara-negara yang berkepentingan sehingga relasi ekstradisi bisa dilalkukan secara formal via suatu perjanjian atau secara informal atas dasar relasi baik (comity).[9]

Walaupun sejarah ekstradisi , Bassiouni, sebagaimana dikutip oleh Prof. Romli Atmasasmita, membagi perkembangan ekstradisi dalam empat jangka waktu sebagai berikut:[10]

Waktu pertama, merupakan semenjak sebelum masehi sampai dengan abad ke 17, dimana ekstradisi hanya ditujukan terhadap penjahat politik dan kezaliman penodaan terhadap agama.

Waktu kedua, merupakan dari abad ke 18 sampai dengan pertengahan abad ke 19, merupakan ekstradisi mulai dilandaskan pada perjanjian internasional dan terpenting ditujukan terhadap mereka yang menjalankan kezaliman militer.

Waktu ketiga, merupakan ekstradisi yang terjadi dari tahun 183 sampai dengan sekarang, dimana ekstradisi juga ditujukan terhadap kezaliman-kezaliman biasa (konvensional).

Waktu keempat, merupakan ekstradisi yang terjadi setelah 1948, merupakan sejalan dengan perkembangan hak asasi manusia, maka pengerjaan ekstradisi disyaratkan untuk tak melanggar hak asasi tersangka, terdakwa atau terpidana (buron).

Perjanjian ekstradisi yang pertama merupakan terjadi pada tahun 1280 SM antara Raja Ramses II dari Mesir dan Raja Hattusili III dari Hitites. Model perjanjian ekstradisi abad hal yang demikian kemudian ditiru di masa kerajaan Yunani dan Kekaisaran Romawi. Menurut demikian ekstradisi di masa kerajaan hal yang demikian didasarkan alasan-alasan politis untuk menjaga stabilitas politik kerajaan ybs sehingga ekstradisi di masa itu hanya untuk kezaliman-kezaliman politik dan bukan untuk kezaliman biasa.[11]

Perkembangan praktik ekstradisi pada jangka waktu kedua sampai dengan keempat dan sesudahnya, khusus ditujukan untuk memperlancar perdagangan antar negara yang sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat internasional. Awam yang sering terjadi dalam konteks ini merupakan pembajakan di laut (piracy) yang dianggap menghalangi arus perdagangan antar benua sehingga dinyatakan pembajakan di laut sebagai kezaliman internasional. Penetapan pembajakan di laut sebagai kezaliman internasional menyebabkan setiap negara berkewajiban untuk menangkap dan membendung serta mengadili pelaku kezaliman pembajakan di manapun mereka berada dan tak perlu memperdulikan asal masukan dari pelaku atau korbannya. Konsep aturan, mengenai “aut dedere aut punere” dari Grotius (1927) berasal dari maraknya kezaliman pembajakan di laut dikala itu.[12]

Ekstradisi telah mengalami perubahan esensi makna diperhatikan dari dua cara aturan, baik cara “Commol Law”, ataupun dari sisi cara aturan “Civil Law”. Bagi negara penganut cara Common Law, ekstradisi telah ditempatkan bukan hanya sebagai kewajiban negara untuk menghormati dan menjalankan keharusannya pantas dengan permintaan negara peminta, tapi ekstradisi telah ditempatkan sebagai komponen dari hak tersangka, terdakwa atau terpidana, termasuk menyuarakan persetujuan atau penolakannya.

Penolakan atau penerimaan permintaan ekstradisi di dalam kebiasaan cara aturan Common Law, tak tergantung dari pemenuhan prasyarat formal suatu permohonan ekstradisi, tapi tergantung dari kebenaran materiil dari alasan-alasan permohonan ekstradisi hal yang demikian yang diajukan terhadap seseorang tersangka/ terdakwa. Kebenaran materiil ini akan ditunjukkan di dalam suatu pengerjaan peradilan yang memakan waktu yang lama (optimal satu tahun). Walaupun pada penjelasan hal yang demikian prosedur ekstradisi di dalam cara aturan common law merupakan suatu “judicial procedure” yang sangat menghormati prinsip-prinsip due process of law.[13]

Prosedur ekstradisi di dalam cara aturan “Civil Law” tak berbeda jauh dari konsep dan pemikiran Grotius, tiga ratus tahun yang lampau, merupakan sangat tergantung dari sikap politik negara ybs dan persetujuan atau penolakan permintaan ekstradisi sangat tergantung dari prasyarat-prasyarat formal, peralatan dokumen (prasyarat-prasyarat administratif) dalam permohonan ekstradisi dimaksud. Prosedur ekstradisi teladan ini diketahui sebagai administrative procedure. Prosedur ekstradisi ini telah berhasil mengembalikan tersangka/ terdakwa dengan tepat sasaran dibandingi dengan kebiasaan cara aturan Common Law.[14]

C. Prinsip-Prinsip Model Ekstadisi
Dari beberapa literatur yang penulis baca, berkenaan dengan prinsip-prinsip biasa Ekstradisi, penulis menemukan beberapa diantaranya:

Extraditable Offenses-Double Criminality

Selain pada UN Model Law on Extradition dan UN Model Treaty on Extradition, terdapat sebuah Substantive Condition dalam menjalankan ekstradisi. Substantive Condition hal yang demikian merupakan Extraditable Offenses-Double Criminality.

Walaupun pada kedua UN Model on Extradition hal yang demikian yang termasuk ke dalam extraditable Offenses merupakan sebagai berikut:

a. Menurut yang dilaksanakan oleh pelaku kezaliman yang dimintakan ekstradisi merupakan kezaliman dibawah aturan dometik negara yang meminta ekstradisi dengan ancaman hukuman penjara minimal 1 atau dua tahun.

b. Menurut yang dilaksanakan oleh pelaku kezaliman yang dimintakan ekstradisi merupakan kezaliman dibawah aturan domestik dari negara yang bersangkutan yang diancam hukuman penjara minimal 1 atau dua tahun

c. Ekstradisi terhadap orang yang telah dijatuhi hukuman atas kezaliman sebagaimana ditujukan di atas (dalam ayat 1) hanya bisa diberikan bila seseorang hal yang demikian masih sepatutnya menjalani sisa hukuman sekurang-kurangnya enam bulan atau lebih.

Berkenaan dengan Extraditable Offenses, Bassiouni mengatakan sebagai berikut:

The crime for which the relator is requested must be stated or contemplated in the applicable resmi basis of the process, i.e. the treaty or national legislation; in other words, it must be one of the offenses for which extraditable is permitted. in the U.S., the courts must first find that a treaty authorizing extradition includes the offenses for which the person is requested. some bilateral extradition treaties list such offenses, some provide that the offense must constitute a crime under the laws of both states and that the offense be punishable by a certain term of imprisonment, usually one year, and some use both formulations.[15]

Menurut Bassiouni, kezaliman yang dimintakan oleh negara-negara yang bersangkutan sepatutnya dinyatakan atau dicantumkan di dalam dasar aturan yang berlaku dari pengerjaan pengerjaan hal yang demikian, merupakan perjanjian atau undang-undang nasional, dengan kata lain, sepatutnya menjadi salah satu extraditable offenses yang diperbolehkan.

Di Amerika Serikat, pengadilan sepatutnya terpenting dulu menemukan bahwa di dalam perjanjian ekstradisi mencakup otorisasi pelanggaran yang orang hal yang demikian dipinta. Menurut perjanjian bilateral seputar ekstradisi mencantumkan pelanggaran hal yang demikian, beberapa memberikan pengendalian bahwa tindak pidana sepatutnya merupakan suatu kezaliman menurut aturan kedua negara dan bahwa pelanggaran dihukum dengan hukuman penjara tertentu, biasanya satu tahun, dan beberapa mengaplikasikan kedua formulasi.

Sebagai tambahan, Robert Cryer mengatakan bahwa ekstradisi biasanya terbatas pada pelanggaran serius, sering merujuk terhadap tingkat minimum hukuman, yang mungkin sederhana, tapi tak jauh berbeda dari, prasyarat double criminality. Awam internasional dan transnasional pada biasanya bisa diekstradisi, terlepas dari apakah prinsip aut dedere aut judicare dari perjanjian tertentu atau prasyarat biasa berlaku.[16]

Menurut Prof. Romli Atmasasmita, penentuan adanya tindak pidana yang bisa diekstradisikan (extraditable offenses, pen) merupakan, pertama, untuk menghindari prosedur yang meminta tarif tinggi terpenting untuk tindak pidana ringan, dan kedua, menghindari negara yang dipinta menolak penyerahan dengan alasan kepentingan biasa. Sebagai penjelasan beliau mengatakan bahwa metoda untuk menetapkan “extraditable offenses” dalam aturan international diterapkan salah satu dari dua metoda, merupakan enumerative atau eliminative. Metoda enumeratif bersifat limitatif, merupakan menetapkan kezaliman-kezaliman menurut nama sehingga cara kerjanya ekstradisi sepatutnya hanya berlaku untuk kezaliman tertentu dan terdapat dalam perjanjian ekstradisi hal yang demikian. Metoda eliminatif, sebaliknya bersifat induktif, merupakan dengan menetapkan tindak pidana yang bisa diekstradisikan atas dasar keseriusan dan biasanya, menetapkan hanya hukuman minimum yang diancamkan pada tindak pidana dimaksud.[17]

sedangkan berkenaan dengan prinsip double/ dual criminality, Ilias Bantekas mengatakan bahwa secara tradisional ektradisi bisa dilaksanakan terhadap orang-orang yang diduga menjalankan tindak pidana serius sehingga menurut prinsip nulla poena sine lege (non retroaktif/ keautentikan, pen), sehingga ektradisi bisa dimintakan bila perbuatan yang dilaksanakan dianggap sebagai tindak pidana baik di negara peminta ektradisi ataupun negara yang dipinta. Ini kemudian yang dikategorikan sebagai double criminality.[18] Senada dengan pendapat hal yang demikian Bassiouni juga berpendapat bahwa Mengacu prasyarat bahwa pelanggaran yang akan diekstradisi, juga sepatutnya memenuhi prasyarat adanya double criminality, merupakan bahwa pelanggaran yang dikenakan juga sepatutnya merupakan tindak pidana menurut aturan pidana yang dipinta dan dari negara yang dipinta.

Sama halnya dengan kedua pendapat di atas, Edward M. Wise berpendapat bahwa menurut doktrin double criminality, seorang terdakwa bisa diekstradisi hanya bila perbuatan pelaku yang diajukan ekstradisi dianggap sebagai tindak pidana oleh yurisprudensi atau menurut aturan kedua negara (peminta dan yang dipinta).\\” Aturan double criminality ini telah tegas dimasukkan ke dalam perjanjian hal yang demikian. Lebih terang seputar prasyarat prinsip ini, Wise mengatakan sebagai berikut:

“the law does not require that the name by which the crime is described in the two countries shal be the same; nor that the scope of liability shall be coextensive, or, in other respects, the same in the two countries. It is enough if the particular act charged is criminal in both jurisdictions.”[19]

Menurut Wise, Mengacu tak mensyaratkan kedua negara sepatutnya mengaplikasikan nama yang sama, atau bahwa ruang lingkup pertanggungjawaban dari kezaliman hal yang demikian juga sepatutnya sama luasnya, atau, dalam hal-hal lain, yang sama di kedua negara. Menurut Wise Cukuplah bila perbuatan tertentu yang dikenakan hal yang demikian merupakan termasuk tindak pidana dalam kedua yurisdiksi.

Menurut UN Model Law dan UN Model Treaty on Extradition prinsip double criminality ini ditunjukkan sebagai berikut:

a. Mengacu dari kedua negara menempatkan perbuatan atau kelalaian sebagai sebuah pelanggaran dalam klasifikasi yang sama atau menamakan kezaliman hal yang demikian dengan istilah yang sama.

b. Walaupun aturan dari kedua negara pihak unsur-unsur pokok dari pelanggaran berbeda, dengan pengertian bahwa keseluruhan perbuatan atau kelalaian seperti dicantumkan oleh Negara peminta sepatutnya diperhitungkan.

c. Berikutnya hal ekstradisi terhadap seseorang yang dicari untuk suatu pelanggaran terhadap aturan yang berhubungan dengan perpajakan, bea cukai, kontrol devisa atau hal-hal pendapatan lainnya, ekstradisi tak bisa ditolak atas dasar bahwa aturan Negara yang dipinta tak memaksakan macam pajak yang sama atau kewajiban atau tak mengandung pajak, bea cukai atau pengendalian devisan dalam macam yang sama sebagai aturan Negara peminta

d. Menurut permintaan untuk ekstradisi mencakup beberapa kezaliman yang berbeda masing-masing yang bisa dihukum menurut aturan kedua Pihak, tapi beberapa di antaranya tak memenuhi keadaan-keadaan lain yang ditentukan dalam ayat 1 pasal ini, Pihak yang dipinta bisa memberikan ekstradisi terhadap pelanggaran hal yang demikian bila setidaknya memenuhi salah satu dari ketetapan dari kezaliman yang bisa diektradisikan.

Berbeda dengan apa yang dicantumkan di dalam kedua UN Model sebagaimana hal yang demikian di atas, Prof. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa batasan minimum ancaman pidana di dalam prinsip double criminality ini merupakan 4 tahun. Jika beliau memberikan dua pengertian istilah prinsip ini merupakan, pertama, dalam arti imajiner (double criminality in sbstracto) merupakan kezaliman dianggap diancam di negara yang dipinta; dan arti kedua, dalam arti konkrit (double criminality in concreto), bila unsur tindak pidana dipenuhi oleh undang-undang di kedua negara (peminta dan yang dipinta).[20]

Prinsip ini juga dipegang dalam pasal 5 ayat ke-satu sub ke-2 KUHP yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

(1) Menurut pidana dalam perundang-undangan pidana indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia menjalankan: 2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketetapan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diperhatikan sebagai kezaliman, sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilaksanakan diancam dengan pidana.

Walaupun ketetapan hal yang demikian di atas bisa ditafsirkan bahwa prinsip “dual criminality” menurut cara aturan pidana Indonesia mencakup baik prasyarat adanya “tindak pidana yang sama”, ataupun adanya “ancaman hukuman” atas tindak pidana dimaksud. Menurut hal yang demikian tak menyebut secara khusus kewajiban nomenklatur yang sama mengenai tindak pidana yang diancam pidana, tapi lebih menitik beratkan pada adanya ancaman hukuman terhadap perbuatan yang dilarang.[21]

Political Offence Exception

Menurut Ilias Bantekas, secara tradisional, Negara tak sepatutnya untuk menyerahkan orang yang berhubungan dengan suatu pelanggaran yang dianggap sebagai suatu pelanggaran yang bersifat politik. Pengecualian terhadap kezaliman politik merupakan prinsip universal yang diakui aturan ekstradisi dan berhubungan dengan prinsip kedaulatan. Menurut hal yang demikian dibenarkan oleh kepentingan bagi negara untuk tetap terlepas dari perselisihan politik dan melindungi hak negara untuk memberikan suaka terhadap pengungsi politik. Tetapi dimasukkannya pengecualian kezaliman politik dalam perjanjian ekstradisi telah menawarkan beberapa perlindungan bagi buronan polisi dari setiap negara yang berupaya untuk membungkam lawan-lawan politiknya, untuk menerima suatu definisi yang baik seputar kezaliman politik sering penuh dengan kesulitan. Mengacu perjanjian ekstradisi tak sepatutnya mendefinisikan istilah kezaliman politik, frase dari karakter kezaliman politik secara biasa telah diterima sebagai pedoman adanya oposisi dari buronan terhadap negara yang meminta.[22] Tidak merujuk terhadap ketetapan UN Model Law on Extradition, Prinsip ini termasuk ke dalam Mandatory Obligation atau yang bersifat sepatutnya.

Prinsip penolakan atas dasar kezaliman politik dewasa ini kian sirna terpenting dengan momen terorisme pemboman World Trade Centre di New York, Amerika Serikat.

Terorisme senantiasa dihubungkan dengan semangat politik dan disponsori oleh negara sehingga susah untuk tak mengatakan bahwa terorisme bukan kezaliman politik. Jalan keluar agar prinsip ini tetap dipertahankan akan tapi di sisi lain tak perlu dipertahankan, berangkat dari pembedaan antara “kezaliman politik murni” (pure political crime), dan “kekerasan yang bersifat politik” (political motivated violence).

Menurut demikian dengan perkembangan kezaliman terorisme yang merupakan “semi kezaliman internasional” maka terorisme telah sepatutnya tak lagi ditempatkan sebagai kezaliman politik atau kezaliman yang bermotifasi politik sehingga terorisme merupakan extraditable crime (kezaliman yang bisa diekstradisi).[23]

Sedikit berbeda dengan pendapat hal yang demikian, Bassiouni Ada dua macam pelanggaran yang tergolong ke dalam \\”Political Offense Exception\\”. Awam politik murni dan kezaliman politik relatif. Ada juga pengecualian terhadap pengecualian ini, merupakan kezaliman internasional yang dikecualikan dari sebuah pengecualian terhadap kezaliman \\”politik”. Model perjanjian ekstradisi Amerika Serikat mengandung ketetapan mengenai \\”pengecualian kezaliman politik\\”, tapi hanya kezaliman politik murni\\” diterapkan secara tetap tanpa pertanyaan.

Awam hal yang demikian diantaranya merupakan dalam berpandangan politik, ekspresi politik atau perbuatan-perbuatan mana yang tak mengaplikasikan kekerasan, seumpama pelanggaran seperti pengkhianatan dan spionase. Awam politik relatif merupakan kezaliman yang mengaplikasikan kekerasan sebagai salah satu wujud semangat politik dan tujuan dari pelaku, tapi bukan merupakan kekerasan secara sembarangan yang dibimbing terhadap orang-orang yang tak bersalah.[24]

Prinsip penolakan ekstradisi atas dasar keyakinan bahwa penuntutan akan dilaksanakan atas dasar perbedaan ras, agama, etnis, pendapat politis, macam kelain, dan kebangsaan.

Perkembangan prinsip ini diakibatkan oleh perkembangan demokrasi di banyak negara terpenting di negara-negara maju. Seiring dengan perkembangan demokrasi itu maka perkembangan hak asasi manusia (individu) kian pesat dan diakui di segala bidang kehidupan termasuk dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan aturan. [25]

Perkembangan demokrasi dan HAM diatas mengakibatkan terjadi perubahan pandangan negara terhadap prosedur ekstradisi. Peribahan pandangan ini merupakan, negara yang dipinta (requested state) kian tidak mau menyetujui permintaan ektradisi dari suatu negara yang diyakini belum mempunyai pemerintahan yang demokratis dan menghormati HAM.[26]

Mengacu Indonesia telah mempunyai Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 seputar Model Asasi Manusia , dan UUD 45 telah memuat ketetapan seputar HAM. Penolakan ekstradisi dengan alasan ini merupakan kewajiban utama Pemerintah Indonesia untuk meneliti permohonan ekstradisi dari negara lain atau sebaliknya, pemerintah Indonesia sepatutnya bisa meyakinkan pengerjaan peradilan yang bebas dari kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM dikala mengikatkan diri dalam suatu perjanjian ekstradisi dengan negara lain.[27]

Cherif Bassiouni menyebut pengecualian ini dengan singkat merupakan pengecualian terhadap penuntutan yang dilaksanakan atas dasar diskriminasi. Menurutnya, pengecualian ini masih berhubungan dengan pengecualian terhadap kezaliman politik ekonomi SCM , akan tapi tetap terpisah satu sama lain.

Menurutnya pengecualian ini di dasarkan pada kenyataan bahwa negara yang mengajukan permohonan mencari pelaku sebagai sarana untuk menganiaya dirinya atas dasar politik, atau keyakinan agama, atau sebab ras atau agama. Menurut ini yang tercantum pada protokol 1957, yang mengamandemen konvensi seputar pengungsi tahun 1951 yang diwujudkan dalam aturan Amerika Serikat seputar imigrasi dan naturalisasi yang memberikan kemungkinan seseorang untuk mendapatkan suaka politik di Amerika Serikat.[28]

Prinsip penolakan atas dasar kezaliman yang dimintakan ekstradisi merupakan kezaliman militer (Offenses under military law exception)
Sehubungan dengan prinsip ini, kedua UN Model on Extradition tak menerangkan lebih lanjut. Kedua UN Model hal yang demikian hanya menyebutkan bahwa ekstradisi sepatutnya tak diberikan bila kezaliman yang dimintakan ekstradisi merupakan kezaliman menurut aturan militer dan tak termasuk juga di dalamnya merupakan tindak pidana menurut aturan pidana biasa (biasa). Sama halnya dengan teladan hal yang demikian, Prof. Romli juga mengatakan bahwa prinsip penolakan ekstradisi atas dasar kezaliman militer juga dianut secara universal dan tak ada penjelasan khusus mengenai prinsip ini selain bahwa kezaliman militer merupakan kezaliman untuk orang tertentu (militer) dan peradilan kezaliman militer merupakan kekhususan yang uni dari cara aturan satu negara terhadap cara aturan negara lain.[29]

Prinsip Double Jeopardy atau ne bis in idem sebagai alasan penolakan ekstradisi

Sehubungan dengan Prinsip ini, Ilias Bantekas mengatakan bahwa banyak perjanjian ekstradisi mengakui prinsip Double Jeopardy dan memasukkan pengecualian untuk orang yang telah diadili dan dihukum sebab pelanggaran yang sama di negara lain. Ekstradisi juga bisa ditolak bila pihak yang berwajib mengadili di negara yang dipinta telah mengawali penuntutan sehubungan dengan kezaliman untuk mana ekstradisi diajukan. Menurut Bantekas, bila ada keterlambatan dalam mencari ekstradisi tak masuk logika, persetujuan terhadap permintaan ekstradisi dalam keadaan hal yang demikian dianggap sebagai sebuah penindasan.[30] Mengacu dipegang di dalam UN Model, prinsip ini juga dicantumkan di dalam Konvensi Eropa seputar ekstradisi tahun 1957 terpenting di dalam pasal 9.

Menurut Prof. Romli Atmasasmita, prinsip ini diwujudkan alasan penolakan ekstradisi sebab menjatuhi hukuman dua kali untuk perkara yang sama terhadap seseorang terdakwa merupakan pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan dan due process of law dan bertentangan dengan asas kemanusiaan. Sekalipun prinsip penolakan ekstradisi ini bersifat opsional merujuk pada MLE UN 1990, akan tapi tak ada negara yang mau melanggar prinsip ini. Prinsip ne bis in idem dianut secara universal di banyak undang-undang pidana negara-negara di dunia, sehingga kemungkinan ekstradisi diperhatikan melanggar prinsip ini sangat kecil sekali, selain kezaliman yang dimintakan ekstradisi atas seseorang berbeda-beda baik norma, substansi ataupun hukuman pidananya

.Bassiouni malahan berpendapat bahwa sedangkan biasanya masih dimungkinkan adanya pembelaan, hal itu akan sangat tergantung pada persamaan tuntutan untuk mana pelaku dipinta dan juga dia telah selesai dituntut, dibebaskan atau dihukum.[32]

Prinsip tindak mengekstradisi bila terhadap sseorang yang dimintakan ekstradisi telah dijatuhi hukuman in absensia di negeri peminta
Menurut Prof. Romli Atmasasmita, prinsip ini didasari atas perlindungan hak asasi seseorang yang dimintakan ekstradisi sebab di dalam pengerjaan peradilan in absentia, terdakwa tak mendapatkan kans untuk menjalankan pembelaan sehingga pengerjaan peradilan hal yang demikian diperhatikan melanggar prinsip-prinsip , “fair trial, impartiality, and integrity” dari peradilan. Menurut prinsip ini juga sepatutnya memenuhi prasyarat kepatutan, kesinambungan dan kesungguhan dari negara peminta untuk menuntut dan mengadili yang bersangkutan. Prinsip penolakan atas dasar peradilan in absentia tak boleh menghentikan pengerjaan penuntutan dan peradilan terhadap pelaku kezaliman.[33]

Prinsip penolakan ekstradisi didasarkan atas imunitas dari penuntutan atau sebab kadaluarsa (lapse of time)
Prof. Romli Atmasasmita menerangkan bahwa prinsip ini berlaku dalam hal kezaliman yang dimintakan ekstradisi merupakan kezaliman biasa (conventional crimes) dan tak berlaku terhadap kezaliman luar biasa atau pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) begitu pula prinsip ini masih merujuk terhadap hak imunitas pejabat diplomatik pantas dengan Konvensi Wina mengenai Alternatif Diplomatik (1961). Prinsip penolakan sebab daluarsa dan imunitas, tak berlaku dalam hal kezaliman sebagaimana dicantumkan dalam pasal 5 statuta ICC.[34]

Prinsip Kekhususan (The Rule of Speciality)
Menurut Ilias Bantekas, Menurut besar perjanjian ekstradisi mengandung ketetapan-ketetapan kekhususan timbal balik mengharuskan negara untuk menjalankan penuntutan terhadap buronan hanya dalam hal kezaliman yang dimintakan ekstradisi yang dicantumkan dalam permintaan ekstradisi. Setelah khusus bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap buronan terhadap perlakuan yang tak adil di Negara peminta sebab relasi sejarah dan pengecualian terhadap kezaliman politik.[35]
Sebagai tambahan.

Prof. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa prinsip ini melarang, tanpa persetujuan negara yang dipinta (requested state), mengadili atau menghukum tersangka atas tindak pidana yang tak dimintakan ekstradisi, dan tindak pidana hal yang demikian dilaksanakan sebelum yang bersangkutan diekstradisi. Menurut (prinsip) ekstradisi ini tak menghalangi adanya perubahan dari tuntutan.

Prinsip ini lebih merupakan refleksi dari “sopan santun diplomatik” sekalipun orang yang dipinta untuk diekstradisi merupakan warga negara dari negara peminta ekstradisi. Prinsip ini bukan alasan penolakan yang bersifat mutlak sebab penuntutan dan peradilan orang yang bersangkutan di negara peminta sesungguhnya merupakan hak eksklusif negara yang bersangkutan.[36]

Prinsip tak menyerahkan warga negara (non-extradition of nationals)
Banyak negara-negara Civil Law lebih suka pada mengaplikasikan yurisdiksi pidana atas warga negaranya apakah pelanggaran hal yang demikian dilaksanakan di wilayah mereka sendiri atau di luar negeri. Rasionalisasi dari pengecualian ini berhubungan dengan kedaulatan, dan di beberapa Negara itu dianggap sebagai hak fundamental.[37]
Lebih terang Prof. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa pertimbangan diberlakukannya prinsip ini merupakan, adanya kewajiban setiap negara untuk melindungi warga negaranya; kurang percaya terhadap kejujuran dari pengerjaan aturan di negara peminta; sangat merugikan kepentingan pembelaan bagi warga negara yang bersangkutan bila sepatutnya diadili menurut aturan asing (bukan yang berlaku di negaranya); dan banyak kerugian bagi seseorang yang berada dalam penahanan di negara asiing. Prinsip ini tak berlaku diantara negara-negara penganut cara aturan Common Law seperti Amerika Serikat dan Inggris. Menurut ini disebabkan atas pertimbangan bahwa negara-negara Common Law System, kurang mempunyai janji untuk memberlakukan aturan nasionalnya ke luar batas territorial negaranya dibandingi dengan negara penganut cara aturan Civil Law.[38]
Menurut Bassiouni, Sebagai aturan biasa, Amerika Serikat, tak mengecualikan warga dari ekstradisi, malahan dikala negara-negara lain yang mempunyai relasi ekstradisi, sedangkan begitu, Amerika Serikat biasanya memberikan kemungkinan untuk tak mengekstradisi warga negaranya terhadap negara-negara yang secara tetap menolak untuk menjalankan relasi timbal balik. Diminta ini, bagaimanapun dilaksanakan oleh sekretaris negara sebagai komponen dari sebuah \\”Executive Discretion\\”.[39]

Prinsip Penolakan Ekstradisi atas dasar peradilan yang tak jujur dan perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan.

Prinsip ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip intervensi atas situasi sulit peradilan domestik suatu negara, dan bertentangan dengan prinsip pacta sunt servanda yang telah diakui semenjak berabad yang lampau. Menurut demikian dengan meningkatnya pengakuan individu sebagai subyek aturan (pidana) internasional, dan perkembangan hak asasi manusia, prinsip ini diterima sebagai dasar penolakan ekstradisi. Prinsip ini sekaligus memperkuat keberadaan aturan hak asasi manusia atau aturan humaniter internasional.

Prinsip penolakan ini susah dilaksanakan dalam keadaan dunia yang global ini sebab penafsiran atas prinsip ini sangat subyektif di mana negara yang dipinta mempunyai kewenangan penuh untuk menafsirkan ada atau tidaknya alasan hal yang demikian. alasan penolakan ini bersifat politis sehingga akan memunculkan ketegangan relasi diplomatik antara negara yang bersangkutan

Menurut Undang-undang RI No. 1 Tahun 1979, Ekstradisi merupakan penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan seorang yang dikira atau dipidana sebab menjalankan suatu kejehatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan hal yang demikian, sebab berwajib untuk mengadili dan menghukumnya.

Pada biasanya, ekstradisi merupakan sebagai akibat dari hak asylum merupakan tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, tapi pada dikala ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar aturan pidana nasional bisa diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri bisa dilaksanakan.

DASAR HUKUM EKSTRADISI

Adanya permintaan ekstradisi oleh suatu negara ke negara lain didasarkan pada 4 (empat) hal merupakan :

1.Perundang-undangan Nasional

Pada abad ke-19 banyak negara yang telah menetapkan Undang-undang Ekstradisi. Berikutnya penetapan hal yang demikian, beberapa mereka dipengaruhi harapan untuk menyelamatkan kemerdekaan seseorang dan beberapa lagi oleh pandangan mereka bahwa segala aturan pidana dan prosedur sepatutnya didasarkan pada perundang-undangan.

2. Perjanjian Ekstradisi Lembaga menetapkan Perjanjian Ekstradisi, berikutnya diteruskan dengan usaha membuat perjanjian atau konvensi untuk mengadakan keseragaman ekstradisi dan prosedurnya, yang terdiri dari : Perjanjian bilateral merupakan suatu perjanjian yang diadakan oleh 2 (dua) negara, dimana masing-masing negara sepatutnya memenuhi ketetapan yang telah ditentukan. Perjanjian multilateral dan konvensi merupakan suatu perjanjian yang ditandatangani oleh lebih dari 2 (dua) negara. Sejumlah negara yang mempunyai relasi geografis, historis atau kebudayaan atau mempunyai kepentingan bersama dalam bidang ekonomi telah mengambil ketetapan guna membuat standar Undang-undang Ekstradisi dengan menandatangani konvensi.

Perluasan Konvensi Internasional Ekstradisi bisa didasarkan atas perluasan suatu Konvensi tertentu yang menyuarakan bahwa ekstradisi bisa diberikan dalam hal pelanggaran yang disebut dalam perjanjian. Pantas sebagai berikut :
Konvensi Internsional tanggal 30 September 1921 seputar Pemberantasan Perdagangan Wanita dan Jika-buah hati. Berikutnya Pasal 4 menyuarakan bahwa dalam situasi sulit dimana tak ada Konvensi Ekstradisi, maka akan diambil segala cara untuk mengekstradisikan tersangka.
Konvensi Tahun 1929 seputar Pemberantasan Pemalsuan uang ( Pasal 9 dan 10)

Berikutnya Krama Internasional Berikutnya hal tak terdapat aturan, perjanjian atau konvensi yang membatasi sebagaimana hal yang demikian diatas, ekstradisi bisa dilaksanakan atas dasar suatu tata krama oleh negara terhadap negara lain yang disebut ”Disguished Extradition”. UNSUR-UNSUR EKSTRADIS

Pada biasanya penyerahan pelaku kezaliman dilaksanakan sebab terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

1. Pelaku Awam (Fugitive Offender)

2. Negara Peminta (Requesting Country)

3. Negara yang dipinta (Requested Country)

4.Permintaan dari Negara Peminta

5.Tujuan penyerahan pelaku kezaliman.

SIAPA YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN

Ekstradisi hanya bisa dipinta terhadap seseorang yang telah menjalankan pelanggaran dalam wilayah suatu negara yang bukan negara dimana orang hal yang demikian ditemukan, dengan prasyarat tambahan sebagai berikut :

1.Orang hal yang demikian sepatutnya dalam pencarian oleh petugas aturan dari suatu negara, baik sebab tuduhan menjalankan suatu pelanggaran dan belum diadili atau sebab orang hal yang demikian telah rupanya bersalah tapi belum menjalani hukuman yang dijatuhkan padanya.

2.Berikutnya beberapa besar kasus, orang hal yang demikian sepatutnya bukan warga negara dari negara yang dipinta untuk mengekstradisi.

BAGAIMANA EKSTRADISI DAPAT DIBERIKAN

Permintaan ekstradisi bisa diberikan bila pelanggaran aturan dari tersangka merupakan :

Suatu kezaliman biasa Pelanggaran fiskal, militer (selain negara-negara Benelux) dan pelanggaran politik tak termasuk dalam macam pelanggaran aturan dimaksud.Suatu pelanggaran aturan baik oleh negara Peminta atau Negara yang Awam (Prinsip Double Criminality) Azas ”Own National can not be Extradite” , merupakan dimana warga negara sendiri tak bisa diekstradisikan.Pelanggaran sebelumnya tak lebih dulu terhadap pelanggaran aturan yang sama (Prinsip Nebis in Idem) Aturan kadaluarsa menurut ketetapan Undang-undang Negara Peminta atau Negara Awam

di Berikutnya Indonesia, menurut pasal 2 Undang-undang Ekstradisi RI, KB 8 Mei 1883.S.83-188 : kezaliman hal yang demikian sepatutnya merupakan ”Serious enough to warrant” (recht vaardien).

Azas bahwa permintaan ekstradisi bisa ditolak bila perkara hal yang demikian sedang dalam pemeriksaan.

ASPEK-ASPEK EKSTRADISI

Terdapat 2 (dua) aspek dalam ekstradisi merupakan :

  1. Adanya perbuatan suatu pemerintah yang melepaskan wewenang atas seseorang dengan menyerahkan terhadap pemerintah negara lain.
  2. Langkah-langkah yang telah diambil yang menggambarkan bahwa si pelanggar memang dibendung, baik untuk dituntut ataupun untuk menjalani hukuman.
    Menurut ini merupakan tanggung jawab dari badan peradilan yang juga sepatutnya menampilkan bhawa orang dimaksud memang resmi menurut aturan yang berlaku di negara pemberi ekstradisi agar bisa diekstradisikan.
    Setelah yang mempunyai peranan dalam prosesdur ekstradisi merupakan Setelah Eksekutif dan Yudikatif. PROSEDUR DAN PROSES EKSTRADISI

Berikutnya implementasinya, UU Ekstradisi no. 1 tahun 1979 telah membatasi dengan cukup terang prosedur dan pengerjaan yang sepatutnya ditiru dalam hal “Negara lain mengajukan permintaan ekstradisi terhadap Indonesia” (Indonesia sebagai negara yang dipinta) dan “ Indonesia mengajukan permintaan ekstradisi terhadap negara lain” (Indonesia sebagai negara peminta) sebagai berikut :

Indonesia sebagai negara yang dipinta (Requested Country) >UU Ekstradisi No. 1 Tahun 1979, prosedur yang sepatutnya dicapai bila negara lain mengajukan permintaan ekstradisi terhadap Indonesia merupakan sebagai berikut :

a. Negara peminta (instansi yang berwajib) mengajukan permintaan pencarian, penangkapan dan penahanan sementara (provisional arrest) atas orang yang dicari terhadap Kapolri atau Jaksa Agung RI dengan menerangkan mengenai :

a. identitas orang yang dicari, b. foto, c. sidik jari, d. uraian singkat tindak pidana yang dilaksanakan, e. ancaman hukuman f. berita seputar keberadaannya di Indonesia.Permintaan hal yang demikian bisa diajukan via saluran Interpol atau saluran Diplomatik.

b. Polri atau Kejaksaaan menjalankan pencarian dan menjalankan penangkapan dan penahanan sementara pantas dengan permintaan negara peminta.

c. Tidak orang yang dicari bisa ditangkap/ dibendung, berikutnya Polri atau Kejaksaan via saluran diplomatik dan atau Interpol memberitahukannya terhadap negara Peminta, agar negara Peminta segera mengajukan permintaan ekstradisi terhadap Pemerintah Republik Indonesia (Menteri Kehakiman RI0 paling lambat 20 hari terhitung semenjak dilaksanakan penangkapan (atau pantas Perjanjian Ekstradisi antara negara Peminta dan Indonesia).

d. Menurut dalam waktu yang telah ditentukan Pemerintah Indonesia (Departemen Luar RI) tak menerima permintaan ekstradisi dari Negera Peminta, Polri atau Kejaksaan sepatutnya membebaskan orang yang dimintakan ekstradisinya.

e. Permintaan Ekstradisi dan berkas prasyarat diberi tahu oleh Negara Peminta terhadap Menteri Luar RI via saluran diplomatik. Departemen Luar RI memberitahukan terhadap Kapolri, Jaksa Agung, Menetri Kehakiman dan Mahkamah Agung bahwa permintaan ekstradisi dari negara peminta telah diterima.

f. Jika, Menteri Luar RI secepatnya menyajikan surat dan berkas orisinil permintaan hal yang demikian terhadap Menteri Kehakiman RI dengan tembusan Kapolri, Jaksa Agung dan Mahkamah Agung.

Menteri Kehakiman RI menjalankan pengecekan seputar peralatan berkas permintaan ekstradisi hal yang demikian. Menurut diketemukan ada kekurangan, Menteri Kehakiman RI bisa meminta terhadap Negara Peminta (via saluran diplomatik) untuk melengkapi dokumen yang kurang.

h. Berikutnya hal belum ada Perjanjian Ekstradisi, bila berkas permintaan ekstradisi telah komplit, Menteri Kehakiman bisa meminta pertimbangan terhadap Kapolri, Jaksa Agung dan Menteri Luar RFI untuk emminta Keputusan Presiden RI, apakah permintaan ekstradisi hal yang demikian disetujui atau ditolak untuk diproses lebih lanjut.

Menurut disetujui, Menteri Kehakiman RI meneruskan permintaan ekstradisi hal yang demikian terhadap Kapolri untuk diproses. Menurut ditolak, Menteri Kehakiman RI meminta terhadap Menteri Luar RI untuk memberitahukan penolakan hal yang demikian terhadap Negara Peminta.

i. Berikutnya hal ada Perjanjian Ekstradisi, Menteri Kehakiman RI mengirimkan berkas orisinil permintaan ekstradisi terhadap Kapolri atau Jaksa Agung untuk pengerjaan lebih lanjut (tak perlu meminta Keputusan Presiden terpenting dulu).

j. Kapolri atau Jaksa Agung memerintahkan penyidiknya untuk menjalankan perbuatan pemeriksaan orang yang dimintakan ekstradisi dan mengajukan berkas perkaranya terhadap Jaksa Penuntut Model.

k. Jaksa Penuntut Model mempunyai waktu 7 (tujuh) hari untuk mengajukan berkas perkara terhadap Pengadilan Setempat.

l. Pengadilan memeriksa perkaranya dengan mengadakan sidang 2 atau 3 kali, kemudian membuat Penetapan Pengadilan seputar bisa atau tak bisa orang hal yang demikian diekstradisikan.

m. Pengadilan menyajikan Penetapan hal yang demikian terhadap Menteri Kehakiman RI.

n. Lembaga menerima Penetapan Pengadilan, Menteri Kehakiman RI meminta pertimbangan Kapolri, jaksa Agung dan Menteri Luar RI.

o. Jika, Menteri Kehakiman RI menyajikan Penetapan Pengadilan, Pertimbangan Kapolri, jaksa Agung dan Menteri Luar RI terhadap Presdien RI dan meminta Keputusan Presiden atas permintaan ekstradisi yang diajukan Negara Peminta.

p. Presiden RI mengambil keputusan dan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden seputar apakah permintaan ekstradisi hal yang demikian dikabulkan atau ditolak. Menurut ditolak, maka orang yang dimintakan ekstradisi sepatutnya segera dibebaskan.

q. Lembaga menerima Keputusan Presiden, Menteri Kehakiman RI memberitahukannya terhadap kapolri, Jaksa Agung dan Menteri Luar RI untuk memberitahukannya terhadap Negara Peminta.

r. Menteri Kehakiman RI juga memberitahukan terhadap Negara Peminta via saluran diplomatik dan Interpol mengenai daerah, tanggal dan jam penyerahan orang yang diekstradisikan.

s. Berikutnya pengerjaan penyerahan dari Pemerintah Indonesia (diwakili oleh Departemen Kehakiman) terhadap Negara Peminta (diwakili oleh Kedutaan Besar) diwujudkan Acara Penyerahan dengan disaksikan oleh Staf Departemen Luar dan perwakilan Polri.

  1. Indonesia sebagai Negara Peminta (Requesting Country) Berikutnya UU Ekstradisi No. 1 tahun 1979 disebutkan bahwa yang bisa mengajukan permintaan ekstradisi terhadap Menteri Kehakiman RI merupakan Kapolri dan Jaksa Agung. Permintaan Ekstradisi dilaksanakan bila orang yang dicari telah diketahui keberadaaanya secara pasti di suatu negara. Prosedur pengajuan permintaan ekstradisi terpenting di Polri merupakan sebagai berikut :

Disguished Extradition

Berikutnya biasa permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan hal yang demikian, maka ekstradisi bisa dilaksanakan atas dasar relasi baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik ataupun sepihak. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara hal yang demikian disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung).

Handing Over atau Disguished Extradition diistilahkan sebagai penyerahan pelaku kezaliman dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kezaliman yang tak sepenuhnya pantas dengan pengerjaan dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam UU Ekstradisi.