Pengertian Nepotisme : Ciri, Contoh, Dampak Dan Cara Mengatasinya

5 min read

Pengertian Nepotisme Menurut Para Ahli

Pengertian Nepotisme Menurut Para Ahli, Ciri Ciri, Dampak Dan Cara Mengatasi Nepotisme

Pengertian Nepotisme – Praktik Nepotisme sudah diketahui di masyarakat luas dengan istilah KKN. KKN berdampak negatif di bidang politik, ekonomi dan moneter. Praktik Nepotisme dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta membahayaan eksistensi negara.

Sebenarnya apa itu Nepotisme? Pengertian Pengertian Nepotisme Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 perihal Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Nepotisme sudah dijelaskan mengenai pengertian Nepotisme, ada dibawah ini.

Pengertian Nepotisme Menurut Para Ahli :

Dalam tinjauan tata krama dan aturan menurut para ahli, Nepotisme Adalah yaitu praktik yang sepatutnya ditolak dalam politik yang sehat dan demokratis. Melainkan, secara sosiologis meluasnya Nepotisme membawa suatu dampak yang menguntungkan bagi tegaknya public good governance karena bersama dengan terkuaknya kasus korupsi-korupsi besar, tersingkap juga berbagai konspirasi politik dalam bentuk nepotisme yang pada giliran selanjutnya melahirkan kroniisme.

Ada persamaan dan perbedaan di antara nepotisme dan kroniisme sebagai praktik dalam birokrasi. Dua praktik itu mempunyai kesamaan bahwa penempatan seseorang dalam birokrasi tidak didasarkan pada kompetensi teknis, tapi pada elemen-elemen nonteknis.

Bedanya, dalam nepotisme, posisi dalam birokrasi ditetapkan oleh hubungan kekeluargaan dan hubungan, padahal dalam kroniisme posisi itu ditetapkan oleh hubungan perkoncoan. Dinasti politik yaitu gejala nepotisme, yang dalam perkembangannya akan mewujudkan kroniisme.

Contoh Nepotisme :

Dalam organisasi yang bagus, Pada Masa Orde baru nepotisme dianggap sebagai praktik yang menyimpang. Melainkan, kenapa menyimpang? Ada pertanyaan kritis menyangkut soal ini yang sepatutnya mendapatkan perhatian.

Apa dasarnya bahwa bila saya menjadi gubernur, saudara-saudara saya tidak boleh berprofesi dalam kantor gubernur, sekalipun mereka terbukti kapabel? Jika mereka sudah lewat segala tes seleksi dengan benar dan lulus tes hal yang demikian, kenapa mereka tidak boleh mendapatkan profesi dan posisi yang mereka kehendaki?

Melarang mereka berprofesi dalam kantor gubernur hanya karena mereka yaitu sanak dan kerabat gubernur, bukankah itu suatu diskriminasi? Selayaknya mereka diterima berprofesi hingga terbukti bahwa hubungan kekeluargaannya dengan gubernur membuat mereka mengerjakan penyimpangan dalam tugas, atau tidak berprofesi tepat sasaran sebagaimana dituntut oleh tugasnya.

Kiranya jelas bahwa argumen seperti itu didasarkan pada asas nondiskriminasi dan asas praduga tidak bersalah. Kita tahu juga bahwa praduga tidak bersalah yaitu asas yang berlaku dalam pengadilan.

Melainkan, birokrasi pemerintahan dan manajemen organisasi bukanlah pengadilan. Di sini yang perlu dilakukan yaitu mencegah kemungkinan dan memperkecil kans untuk mengerjakan penyimpangan.

Cara Mengatasi Nepotisme Dalam Mayarakat:

Dengan demikian, yang sepatutnya berlaku dalam organisasi dan manajemen bukanlah asaspresumption of innocence atau praduga tidak bersalah, tapi asas presumption of fallibility atau praduga perihal kemungkinan jatuhnya seseorang dalam kelemahan dan kesalahan karena ketiadaan kontrol.

Seorang bos di kantor sebaiknya memercayai segala stafnya. Melainkan tidak berarti lemari besi yang berisi uang kantor boleh diperkenankan tidak terkunci karena sungguh-sungguh besar kemungkinan uang itu menimbulkan godaan untuk diambil.

Terbukti ini juga pertimbangannya kenapa suami-istri tidak diperkenankan berprofesi dalam kantor bank yang sama karena diandaikan bahwa hubungan yang sungguh-sungguh dekat antara suami dan istri akan mempersulit terjaganya kerahasiaan bank, yang dapat merugikan kepentingan nasabah serta merugikan reputasi dan kredibilitas bank hal yang demikian.

Jika salah satu dari pasangan suami-istri itu ditolak oleh bank untuk berprofesi di bank itu, padahal yang bersangkutan sudah lulus tes seleksi dengan bagus, kebijakan ini bukanlah suatu tindakan diskriminatif, tapi tindakan preventif untuk mencegah pelanggaran kerahasiaan bank, yang besar kemungkinan akan terjadi, bila ada hubungan personal yang terlalu dekat di antara karyawan seperti antara suami dan istri.

Dalam hal ini, bila sepatutnya ditunggu dahulu hingga ada bukti terjadinya pelanggaran kerahasiaan bank, maka situasinya sudah telat, dan bagus bank maupun nasabah sudah telanjur dirugikan.

Dampak Nepotisme :

Dampak Nepotisme cukup terbukti dalam sebagian kasus di Indonesia bahwa hubungan yang terikat oleh elemen kekeluargaan cenderung menjadi tertutup dan eksklusif, secara khusus bila para kerabat itu sudah terlibat dalam penyelewengan dan pelanggaran aturan. Ketertutupan itu mempersulit transparansi dan akuntabilitas.

Juga menjadi penghalang bagi monitoring dan pengawasan. Akibatnya, penyelewengan dan pelanggaran aturan yang terjadi akan terus menumpuk dari waktu ke waktu, dan merugikan kepentingan publik secara akumulatif.

Nepotiseme Memperlemah birokrasi

Teladan ini menonjolkan bahwa asas presumption of innocence tidak senantiasa tepat diaplikasikan di luar pengadilan, seperti juga asas presumption of fallibility tidak akan dibenarkan diaplikasikan di pengadilan.

Di sini kita dapat berkata bahwa kebijaksanaan tercapai bila kita berpegang pada asas right principle in the right place atau asas yang benar sepatutnya diaplikasikan di daerah yang benar.

Inilah pertimbangan utama bahwa nepotisme dianggap praktik yang merugikan birokrasi dan manajemen karena hadirnya terlalu banyak kaum kerabat dalam birokrasi akan memperlemah sifat birokrasi yang sepatutnya impersonal.

Kita tahu pemerintahan dan birokrasi pemerintahan yaitu lembaga publik, yang sepatutnya bertanggung jawab atas kepentingan lazim lewat kebijakan-kebijakan publik.

Karena itu, sifat publik dari jabatan-jabatan pemerintahan perlu dijaga agar tidak dipersulit oleh hubungan-hubungan yang terlalu personal, yang menjadi ciri pemerintahan patrimonial zaman baheula.

Kroniisme juga kadang kala dibela dengan jalan pikiran yang sama. Argumennya, bila kita mengawali suatu usaha, lebih bagus mengawalinya bersama orang-orang yang sudah kita ketahui, atau dengan sahabat-sahabat yang sudah saling tahu, daripada seketika mengajak orang-orang yang baru saja ditemui dalam wawancara untuk perekrutan staf.

Orang-orang yang sudah diketahui dan sahabat-sahabat dekat lebih gampang diramalkan perilakunya, dapat diperkirakan reaksinya dalam menerima usulan atau suatu rencana kerja.

Karena-hal ini lebih sulit bila kita seketika berprofesi dengan orang-orang baru karena belum ada pegangan perihal bagaimana mengantisipasi sikap mereka terhadap teguran, peringatan, atau disiplin kantor yang hendak diaplikasikan.

Di sini kita berhadapan dengan tingkat ketidakpastian yang terlalu tinggi, yang akan menyulitkan progres pengambilan keputusan dan menghalangi juga implementasi keputusan yang sudah diambil.

Sebaiknya diperjelas di sini bahwa sekelompok orang dengan semangat yang sama dan visi yang sama memang lebih gampang mengerjakan suatu usaha bersama.

Seperti mendirikan koran atau majalah, membangun sekolah, perguruan tinggi, mengelola sebuah klub sepak bola yang profesional, atau membangun sebuah perusahaan bisnis. Dalam keadaan semacam itu, orang-orang yang saling mengetahui ini tidak dapat dinamakan kroni, tapi rekan kerja yang kompak yang dipersatukan oleh suatu janji yang sama.

Perbedaan di antara teamwork dengan kroniisme yaitu bahwa yang pertama berprofesi untuk kepentingan usaha bersama dengan SOP yang jelas, padahal yang kedua berprofesi untuk kepentingan dan keuntungan sekelompok orang dalam usaha bersama itu, menurut favoritisme pemimpin kelompok.

Ciri Ciri Nepotisme :

Nepotisme baru terjadi bila segelintir orang dari mereka yang sudah mengawali usaha bersama mendapatkan dan menikmati keuntungan khusus yang tidak dibagikan terhadap rekan-rekan lainnya.

Dengan demikian, Nepotisme senantiasa berdiri di atas suatu in-group yang menutup diri dari mereka yang tidak termasuk dalam kelompoknya, dan tidak memperjuangkan kepentingan bersama, tapi membela suatu egoisme kelompok secara eksklusif.

Dalam politik, kroniisme seperti ini tidak saja merajai sumber tenaga ekonomi, tapi juga sumber tenaga politik yang terkait dengan akses terhadap sumber tenaga ekonomi, dan cenderung berkembang menjadi suatu oligarki dalam pemerintahan.

Memang, tiap-tiap oligarki senantiasa dapat berdalih bahwa padahal kekuasaan ekonomi dan politik hanya ada pada sebagian orang, mereka tetap saja berprofesi untuk kepentingan rakyat dan memperjuangkan kemajuan lazim. Dalih seperti ini, bila pun benar terbentuk dalam kenyataan (suatu yang hampir tidak mungkin terjadi), secara prinsipiil tidak dapat diterima asas demokrasi.

Karena rakyat tidak cukup hanya dibuat obyek kebaikan dan kemurahan hati lewat kerja yang dilakukan ”untuk rakyat”.

Prinsip demokrasi menentukan bahwa rakyat yaitu subyek kekuasaan politik dalam pemerintahan, pun subyek yang secara khusus, dan hal ini sepatutnya diperlihatkan dalam pemerintahan ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat” dan bukan saja dalam pemerintahan ”untuk rakyat”.

Dalam progres demokrasi Indonesia dikala ini, dapat disaksikan bahwa asas ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat” lebih acap kali disimulasikan dalam demokrasi prosedural lewat lembaga-lembaga politik, sementara pemerintahan ”untuk rakyat” cenderung disampingkan, secara khusus lewat nepotisme dan kroniisme dalam politik.

Sekarang spesialis aturan mengatakan bahwa kita sulit mengambil langkah-langkah untuk membantah praktik nepotisme dikala ini karena belum ada undang-undang yang melarang praktik nepotisme. Pada hemat saya, keberatan semacam ini tidak mengimplikasikan bahwa nepotisme tidak dapat ditentang, tapi justru menonjolkan belum lengkapnya metode aturan kita.

Legislasi Nepotisme yang mempersulit

Pengalaman politik dalam masa pasca-Reformasi memberi sebagian model bahwa sebagian praktik yang tadinya dilakukan secara meluas, seperti pemberian hadiah besar-besaran terhadap seorang atasan dalam birokrasi pada kans tertentu (seperti pernikahan buah hatinya, atau hari raya).

Lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya, karena tanpa sengaja hadiah-hadiah itu berfungsi sebagai gratifikasi yang membuat orang yang menerima tidak dapat bersikap correct dalam jabatannya. Selain ini hal itu sudah sulit dilakukan karena sudah ada UU yang melarang gratifikasi semacam itu.

Nepotisme jelas merugikan kehidupan politik dan praktik demokrasi karena sebagian kecenderungan dalam wataknya.

Sifat eksklusif nepotisme mempersulit terciptanya tata kelola yang bagus (good governance) karena kelompok yang mempraktikkan nepotisme cenderung tertutup, serta tidak gampang dimonitor dan diawasi.

Ketertutupan itu sendiri sudah bertentangan dengan prinsip equal opportunity atau kans yang sama untuk mengerjakan partisipasi politik secara terbuka karena peran-peran tertentu dalam pemerintahan sudah diblok untuk anggota in-group yang menikmati hak-hak istimewa.

Dengan tertutupnya partisipasi politik untuk sebagian warga negara yang tidak termasuk dalam blok nepotisme, bagus birokrasi maupun politik Indonesia tidak akan mendapatkan tenaga-tenaga terbaik dalam mengerjakan tugas karena mereka sudah tersingkir secara alamiah dari pola perekrutan yang berlangsung tertutup.

Selain itu, nepotisme akan terus berusaha melestarikan vested interest kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan publik dan kemajuan lazim. Kekayaan yang ekstrem dari sekelompok orang dan kemiskinan ekstrem dari banyak orang yaitu hal yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun dalam suatu negara yang bertata krama.

Mungkin sudah saatnya perlu disusun legislasi yang akan mempersulit praktik nepotisme, kroniisme, dan dinasti politik dalam pemerintahan karena ini langkah pertama yang tepat sasaran menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang menjadi alasan satu-satunya bahwa ada, kenapa sepatutnya ada, negara merdeka yang bernama Republik Indonesia.